Ketika Gue Mendapat Tiket Nomor Satu

Tulisan ini lahir karena beberapa sebab. Satu, gue mendadak kangen LJ. Ketika kita – kami? Kamu iya juga nggak? – menulis ya menulis saja. Syukur-syukur ada yang baca, nggak juga ya udah. Benar-benar cuma ingin nulis saja. Curhat. Menulis kejadian hari itu. Ya macam buku harian saja. Audiens utamanya teman-teman, yang jurnalnya ditampilkan bersama-sama dan bisa dibaca secara kronologis dalam daftar ‘Friends’ kita. Nggak mikirin SEO. Nggak mikirin “Dengan tulisan ini saya bisa dapat apa? Gratisan di mana? Nginap di mana?” Pokoknya, ya nulis saja. Dari segi bahasa juga nggak mikir-mikir amat apakah ini sesuai tata-bahasa, KBBI, bla bla bla…

Kedua, tadi siang gue buka-buka akun tumblr gue lagi. Waktu masih tinggal di Jepang dan aktif di scene VK Tokyo (dan kadang merambah ke Osaka, Nagoya, dan Sendai), gue lumayan sering meng-update akun tumblr itu dengan cerita-cerita tentang live (konser) dan instore yang gue hadiri. Sewaktu semakin sibuk dengan tugas akhir dan persiapan pulang ke Indonesia, lama-kelamaan itu akun terbengkalai. Padahal banyak pengalaman yang belum ditulis. Dipikir-pikir kok sayang ya, lama-lama bisa lupa. Padahal (lagi) menulis itu benar-benar bisa mengabadikan pengalaman. Gue aja waktu baca-baca ulang itu tumblr jadi keingat lagi hal-hal yang sudah kekubur di ingatan tapi bisa gue ingat lagi gara-gara tulisan gue sendiri. Gue jadi ngerasa sebelum keburu lupa, hal-hal itu harus ditulis, untuk bahan gue mengingat lagi nantinya.

Eh, sebenarnya gue rasanya harus nulis satu atau dua hal lain deh, tapi udara panas dan pengap beberapa minggu belakangan ini memang benar-benar bikin malas mikir yang berat-berat. Jadi, ya, nulis ini aja deh.

Lanjut.

Beberapa hal juga nggak gue tulis di tumblr dalam bahasa Inggris karena sifatnya yang sensitif. Apalagi di tumblr segala sesuatu cepat nyebarnya (kayak yang baca tumblr gue banyak aja sih, tapi ya buat jaga-jaga lah). Namanya juga VK. Ada orang-orang yang nggak mau keekspos, ada hal-hal yang nggak bisa dibuka seenak-enak udel kalau gue nggak mau membahayakan diri gue sendiri. Kalau gue masih mau punya temen dan nonton live dengan enak di sana, paling enggak.

Yang nggak akrab dengan dunia VK di Jepang mungkin mikir, dih apaan sih lebay banget? Serius banget? Kok gituan ga dibawa fun aja? Jawabnya: soalnya emang seperti itulah adanya. Mungkin susah dipercaya, atau mungkin kita di Indonesia mikir rempong banget, tapi dunia VK di Jepang memang kompleks. Penuh peraturan ga tertulis, manner, rebutan status, kecemburuan dan lain-lain. Saking kompleksnya, nggak bakal selesai sih gue ceritain dalam satu tulisan aja. Ya mungkin dari sepotong demi sepotong yang gue ceritakan, bakal timbul bayangan yang lebih jelas soal dunia VK ini. Apalagi gue lihat banyak orang yang nggak tahu benar dan belum mencicipi kehidupan keras (hah…) sebagai fans VK di Jepang, ternyata banyak ‘belajar’ dari post-post yang kadang-kadang nggak jelas sumber dan ujung-pangkalnya di tumblr.

Pada kenyataannya banyak fans asing yang  tinggal di Jepang justru menyimpan rapat-rapat hal-hal yang mereka ketahui. Ogah jadi bahan gosip atau cacian di dunia maya. Makanya fans asing kalau bertemu fans asing lain di live malah nggak suka bertegur-sapa, apalagi kalau kelihatan jelas fans yang satu lagi adalah ‘vacationer’ alias orang yang datang hanya dalam rangka liburan. Nggak jarang lho fans yang bertempat-tinggal di Jepang lantas diserang dan dikata-katai vacationer yang cemburu di Internet. Cemburu kenapa? Bisa jadi karena melihat fans yang tinggal di Jepang ternyata dapat perhatian lebih banyak dari anak band. Bahasa jaman sekarangnya sih di-waro. Ya gimana nggak dapat perhatian lebih, wong anak bandnya sering ketemu. Sudah kenal.

Teman-teman gue juga gitu. Berhati-hati. Gue juga menghormati mereka lah, nggak akan ada yang namanya gue bocorkan di sini. Paling banter gue pake inisial nama yang ga ada hubungannya sama nama aslinya.

Nah, jadi kali ini gue mau cerita apa?

Cerita sekali-kalinya gue dapat tiket nomor satu.

Penting banget gitu?

Yes, di dunia VK terutama penting banget. Soalnya di VK, lo ngga bisa seenaknya masuk ke live house waktu pintunya dibuka terus nge-tag tempat paling depan. Sudah gitu, sepanjang pertunjukan lo menclok di depaaan terus. Padahal saat taiban (acara beberapa band sekaligus), lo cuma mau nonton band terakhir aja, tapi lo nggak mau rugi karena udah jauh-jauh datang dari luar negeri. Nggak bisa gitu. Nggak sopan. Terus kalo nggak sopan, kenapa? Lo bisa dimusuhin. Nggak ada yang mau barteran cheki (foto polaroid) sama elo. Nggak ada yang mau nolong lo pas lo perlu bantuan tiket atau semacamnya. Badan lo bisa tau-tau ditabrak dengan kasar dan sengaja saat moshing. Yang paling jelek lo mungkin bisa diaduin ke manajemen band dan lo di-black list. Banyak deh. Tapi jangan ngeri dulu. Selama kita bisa selalu sopan, nggak usah takut hal-hal ini terjadi pada kita.

Saat taiban, setiap kali ganti band, penonton bakal tukeran untuk berdiri di saizen (palang depan, baris paling depan). Berapa banyak orang yang bisa berdiri di saizen tergantung ukuran live housenya. Kalau live house kecil-kecil paling-paling 7 sampai 11 orang. Akan ada fans-fans ‘senior’ yang mengatur siapa saja yang berdiri di saizen untuk tiap band. ‘Jabatan’ mereka ini namanya shikiri. Sewaktu live house dibuka, mereka masuk, berjajar di palang depan, memegang kertas catatan atau di zaman sekarang telepon genggam. Fans yang masuk sesudah mereka harus mencari shikiri untuk bandnya, dan bertanya apakah ada posisi yang kosong. Fans biasanya punya tempat favorit sendiri, yaitu yang berada di depan personil band kesayangannya. Shikiri akan mencek apa posisi yang dimaui masih kosong. Kalau iya, shikiri akan mencatat nama dan nomor tiket kita. Nanti kalau giliran band tersebut tampil, saat pergantian set, shikiri akan memastikan setiap orang yang sudah mendaftar ke dia bertukar tempat dengan saizen band sebelumnya dan menempati posisi masing-masing sesuai kesepakatan. Jadi nggak bisa kita datang-datang nyelak padahal belum daftar.

Supaya shikiri bisa masuk duluan, jelas mereka harus punya tiket dengan nomor kecil, karena penonton di live house Jepang dipanggil masuk secara berurutan sesuai nomor tiket. Bagaimana cara mereka memperoleh tiket nomor bagus, padahal tiket di Jepang dijual secara random nomornya? Di sinilah diperlukan keberuntungan yang bagus dan modal duit yang besar… Gue nggak bisa perinci lebih lanjut namun pada dasarnya para shikiri mengeluarkan uang banyaaaak sekali untuk memastikan mereka bisa beli banyak tiket dan memperbesar kemungkinan mereka dapat tiket bernomor kecil. (Apalagi kalau mereka terpaksa membelinya dari orang lain.)

Terkadang mereka mengajak tukaran tiket dengan iming-iming. Misalnya “Lo kan pegang tiket nomor 3, tukeran dong sama gue. Nanti gue pastikan nama lo ada dalam daftar saizen band favorit lo.” Atau, “Nanti gue tag tempat di baris kedua untuk lo.” Ya, semacam itu lah. Dan beneran ini srz bznz banget buat mereka. Gue sampai ngeri karena kadang-kadang ada yang maksa. Orang udah ngantri mau masuk dideketin, minta tukeran tiket. Kadang deretan fans elit bahkan menolak datang sama sekali lho kalau ternyata mereka gagal dapat nomor tiket bagus. Buat mereka, di paling depan atau paling banter nisaku (palang lantai dua, kalau live housenya berundakan), atau tidak datang sama sekali. Apalagi kalau one-man (konser solo), tidak berlaku sistem shikiri. Siapa pun yang pegang nomor tiket paling kecil tidak bisa diganggu-gugat pilihannya untuk berdiri di mana saja dia mau.

Kenapa sih harus di depan? Ya kalau prinsip kita “Yang penting mah bisa nonton band kesukaan gue”, berdiri di mana saja bukan masalah. Namun saat kita suka BANGET pada seorang personil band, ingin dekat dia, ingin bikin dia ngeh kita datang, atau sekadar ingin bikin dia senang dengan perhatian kita, berdiri di depan itu menjadi terasa SANGAT PENTING (ditulis dengan kapital). Dan berdiri di saizen itu memang rasanya istimewa sekali. Rasanya ‘beda’ dari fans lain. Rasanya lebih dekat dengan personil band yang kita suka. Dan pada kenyataannya kalau kita rutin jadi saizen untuk personil band tertentu, ya nyaris pasti dia inget lah sama kita. Gue juga pernah ngerasain hidup macam itu beberapa bulan. Tapi itu cerita lain lagi.

Cerita kali ini tentang band yang namanya LIPHLICH. Yang ngikutin gue di Twitter mungkin tahu lah betapa cintanya gue sama band ini. Secara musik, mereka band yang saat ini paling gue suka di VK setelah Chemical Pictures bubar. Live mereka selalu seru dan/atau mengejutkan. Mereka juga sekelompok orang yang sangat, sangat menyenangkan. Dan seandainya Kuga Shingo penyanyinya ngajak gue kawin saat ini juga, pasti gue iyain. Paling orangtua gue yang nggak setuju. Ntar deh kapan-kapan gue cerita lebih detail tentang kenapa gue sangat suka LIPHLICH.

Sesayang-sayangnya gue sama LIPHLICH dan Kuga, prinsip gue soal band ini adalah “Gue cinta mereka secinta-cintanya. Di mana pun gue duduk atau berdiri asalkan gue bisa lihat mereka, gue pasti datang.” Kadang gue dapat baris dua, baris ketiga, kadang pegang tiket nomor 200 sekian. Pernah dapat kursi di baris kedelapan di depan lorong antar kelompok kursi, eh malah ketiban rejeki karena Kuga dan Takky (gitaris mereka) sempat turun dan berjalan-jalan di lorong itu dan Takky main gitar pas di depan gue. Intinya sih gue selalu senang-senang aja, nggak pernah maksa harus masuk saizen untuk mereka. Capek lah kalau gue harus melulu mikirin gimana cara masuk saizen.

Hubungan gue sama sejumlah penghuni rutin saizen mereka juga baik-baik saja, dan mereka suka ngebantu gue agar dapat tempat di baris kedua. (Baris kedua dan ketiga itu tidak diatur oleh shikiri, tapi kita bisa bergantian melalui negosiasi dengan orang yang pertama kali menempati posisi di situ.) Asyik-asyik aja lah. Tapi di kalangan fans mereka memang ada sejumlah – apa ya, mungkin bisa kita sebut ‘clique’, sebagian di antaranya tipe yang ‘gue kudu dapat depan atau ga sama sekali’. Ya gue juga pernah bantuin mereka sih, kayak pas gue dapat tiket nomor 9, dan mereka ga ada yang dapat di bawah nomor 10, gue nge-tag tempat mereka dengan ngejatuhin jaket gue pas masuk di nisaku. Pokoknya gue sih ga mau ada masalah aja sama mereka.

Bulan Januari 2015 lalu, LIPHLICH dijadwalkan akan manggung bersama satu band yang selabel dengan mereka, yazzmad (yang sudah mau bubar waktu gue nulis ini). Waktu itu, pemesanannya harus dengan cara kirim e-mail pada periode tertentu ke perusahaan mereka, lalu kirim uang via bank kantor pos. Jadi tidak lewat situs/mesin penjualan yang memberikan nomor secara acak. Harusnya sih beli lewat perusahaan juga nomornya diacak agar adil bagi semua fans. Harusnya. Ya makanya gue juga ga mikir jauh-jauh lah. Yang penting gue dapet tiket, itu aja. Setelah urusan bayar-membayar dan konfirmasi beres, gue tinggal duduk santai menunggu tiketnya dikirimkan ke tempat tinggal gue.

Ketika akhirnya amplop cokelat berisi tiket itu buka, gue ngebukanya ya sambil gemas penasaran biasa aja.

Dan begitu gue ngelihat nomornya, jantung gue kayak mau copot.

A1.

Gue sampai melotot dan berulang-ulang ngebaca nomor itu untuk memastikan. Eh bener loh. Gue dapet nomor satu, men!

Dan pikiran gue pertama adalah “Ya Allaaaah gimana kalau fans-fans lain yang ngotot dapetin tiket tahu?”

Iya, gue seneng banget, sekaligus kalut. Gue tahu bahwa itu artinya gue bisa berdiri paling depan. Tengah. Depan Kuga. Gue nggak takut gue ga hapal furitsuke atau apalah. Udah setahun lebih gue nonton live mereka. Gue hapal sebagian besar furitsuke. Gila. Ini kesempatan banget. Gue ga mau sia-siakan. Gue ga tahu kapan lagi bisa dapat dosen, posisi paling tengah-depan, tepat di hadapan tiang mikrofon penyanyi. Gue tahu dalam kondisi biasa kemungkinan itu kecil sekali, karena ada fans ‘ngotot’ yang selalu memonopoli posisi dosen.

Tapi gue tutup mulut rapat-rapat di media sosial. Ga mau ada fans lain tahu dan jadi berabe. Hanya satu sahabat yang gue beri tahu, sahabat sesama fans LIPHLICH yang sangat gue percaya. Dia sendiri udah beberapa kali masuk saizen mereka dan gue anggap lebih berpengalaman, jadi gue bertanya-tanya kepadanya. Dia menegaskan bahwa adalah hak gue sebagai pemegang tiket nomor satu untuk memilih di mana pun gue suka, dan nggak ada yang berhak membujuk atau memaksa gue untuk melepaskan tiket itu.

Yang lebih gila lagi, ketiga fans (oke, satu nolak disebut fans sih, tapi untuk gampangnya kita sebut fans saja deh ya) LIPHLICH yang paling ngotot mengejar tiket bagus nggak ada yang dapat nomor tiket bagus. Dan karena gagal menemukan para pemegang tiket nomor kecil, mereka bertekad tidak datang sama sekali. Gue udah diem aja kayak tikus ketika salah satu dari fans ybs menceritakan hal itu pada gue. Asli, gue takut banget mereka berusaha ngambil tiket itu dari gue.

Gue jadi bertanya-tanya, betulkah pemberian tiket ini acak? Kebetulan? Dan yah, sebenarnya hal ini sempat bikin gue canggung sama sahabat gue yang gue sebut di atas itu. Mari kita sebut saja dia G.

Ceritanya, G ini udah jauh lebih lama jadi penonton rutin LIPHLICH daripada gue. Kami sama-sama orang asing, jadi kalau soal nama, pasti buat orang Jepang nama kami berdua ajaib banget lah. Maksudnya gampang keingat saking asingnya buat mereka, gitu. Bedanya, personil favorit dia Maru-chan si drummer.

Herannya, kalau pemesanan tiket lewat perusahaan, dia nggak pernah dapat nomor tiket yang bagus apalagi bagus banget. Sedang-sedang saja, atau malah nggak bagus. Sementara gue beberapa kali, terutama menjelang akhir masa tinggal gue di Jepang, dikirimi tiket bernomor bagus. Puncaknya nomor satu itu. Sahabat gue kecewa banget. Bukan sama gue, tapi sama band ybs dan manajemen mereka karena merasa mereka telah pilih kasih, meskipun gue (seperti yang gue tekankan berkali-kali) nggak pernah minta dikasih nomor bagus.

“Kuga itu suka sama kamu,” katanya suatu kali.

Kita sampai di satu bagian di mana mungkin akan ada yang berkomentar, “Ngaku-ngaku loe? Geer doang kali loe?”

Terus-terang nulis ini juga gue mikir “Jangan-jangan emang gue yang ge-er”. Toh gue nggak pernah dapat konfirmasi verbal dari dia, “Gue suka elo!” (Di sini dalam pengertian sebagai fans. Dia nggak pernah ngajak gue kelewat batas, meski di luar gosip-gosipnya dia… samber kanan-kiri, gitu deh, hehe.) Tapi Insya Allah gue nggak pernah ngaku-ngaku hal yang gue yakin banget nggak benar. Misalnya, kalau gue cerita GIGAMOUS inget gue, manggil nama gue, itu karena emang kejadian. (Kapan-kapan gue ceritain panjang. Tuh, bahan cerita gue banyak banget kan.) Gue nggak pernah ngaku-ngaku, misalnya, Ice dari BFN nge-waro gue atau inget gue, meskipun gue pernah 2x foto bareng. Tapi gue tahu diri, gue nonton BFN ga sesering band-band kesukaan gue lainnya, paling banter nonton baris ketiga, datang instore BFN juga paling tiga kali. Dengan fans segitu banyaknya, kecil kemungkinan Ice inget gue.

Kalau LIPHLICH, gue sudah ketemu berkali-kali. Dan kalau kalian tahu LIPHLICH, kalian akan tahu bahwa empat orang ini adalah empat orang yang paling jujur dan blak-blakan nunjukin perasaan di antara band-band VK. Bahkan empat-empatnya manggung pakai nama asli.

Pernah satu kali, Maru-chan si drummer ngomong, “Udah lama nggak ketemu ya. Eh, bukan! Kamu kan datang ya di live tiga hari lalu? Gue liat.” Gue aja terperangah saat itu karena dia ngeh, padahal gue berdiri di baris ketiga dalam live yang dia maksud. Takky dan Wataru (basis) juga selalu baik kalau bertemu. Takky sering berusaha berbicara dalam bahasa Inggris, sementara Wataru malah sering kali ingat hal yang gue beritahukan ke mereka sebelumnya sedangkan Kuga nggak ingat. Iya, di luar soal musik, Kuga suka agak selow mikirnya. Itu kenyataan yang sudah gue terima dengan lapang dada.

Sampai mana tadi? Ah ya. Kalau gue harus jelasin apa yang gue rasain ke Kuga, susah dijelasin sebenernya. (Lha terus??) Ga sih sebenarnya gue kok ngerasa kalau nulis dalam bahasa Indonesia, jatuhnya bakal rada cheesy. Tapi kalau ditulis dalam bahasa Inggris takut ditemukan dan dipahami orang-orang yang gue tidak ingin menemukan tulisan ini……

Gue jelasin soal dia dulu deh. Sebelum dia lahir, bapaknya sebenarnya dapat kerjaan di AS. Bapak, ibu, dan kakak perempuannya udah pindah ke sana. Nggak lama sebelum dia lahir, si bapak mendadak pengen banget pulang kampung ke Kawasaki. Meski ditentang orang-orang lain, dia nekad ngeboyong keluarganya termasuk istrinya yang lagi hamil tua pulang. Seminggu setelah nyampe Jepang lagi, 10 Desember, bener aja itu anak laki-laki brojol. Ibunya padahal udah ngarep-ngarep ni anak lahir di Amerika dan udah nyiapin nama Inggris buat dia.

Christopher.

Shingo Christopher Kuga.

Ya agak jomplang ya, tapi nggak apa-apa, aku sayang Christopher.

Christop.. Shingo tumbuh jadi anak gendut, pakai kacamata, tiap kali disuruh latihan renang nangis. Waktu sekolah menengah dia tiba-tiba dapat wangsit gara-gara jadi suka sama rockstar seperti Kiyoharu. Lama-kelamaan dia jadi kurus, dan jadi pemain gitar andal (kacamatanya sih tetap). Sebelum LIPHLICH dia sama sekali bukan penyanyi, melainkan gitaris, tapi setelah menemukan cirinya sendiri dia memutuskan konsen ke nyanyi, meski sampai sekarang kalau manggung suka main gitar juga. Dan kata temen yang jago gitar sih sebenarnya dia ini main gitarnya emang jago banget…

(SEJARAH TERBENTUKNYA LIPHLICH DIPOTONG)

Di mata gue Kuga adalah sosok luar biasa. Dia bener-bener tergila-gila soal musik. Kadang-kadang sampai pagi di studio, mikirin aransemen lagu sampai separo nangis. Lagu-lagu LIPHLICH dia aransemen ulang bolak-balik, nyobain segala sesuatu yang dia pengen. Jazz, blues, orkestra, campur-aduk, seperti tercermin dalam musik LIPHLICH. Nyaris tiap kali manggung LIPHLICH—dengan dia sebagai penggerak utamanya—menawarkan sesuatu yang baru, menabrak batas. Dia mengimpikan untuk melakukan banyak hal bersama bandnya. Dia pernah nangis tersedu-sedu ketika mempersembahkan seluruh set LIPHLICH untuk membawakan ulang lagu-lagu amber gris yang akan bubar. Pengetahuannya, baik di bidang musik maupun yang lain, juga luas, meski suka rada tulalit aja. Pernah dia duduk menceritakan soal Ikarus dalam mitologi Yunani kepada kami. Gue cuma agak nyesel aja kenapa orangtuanya nggak ngajarin dia bahasa Inggris sampai lancar. Tapi ya kali pertama ngobrol, gue sempat kaget karena dia bertanya dalam bahasa Inggris, “Did you have fun?” dan bener gitu pake past tense.

Dia juga nggak terlalu peduli dengan bagaimana berbagai hal biasanya dijalankan dalam dunia VK, kadang-kadang membuat kesal sebagian kecil fans yang masih lama model pikirannya. Sebagai akibatnya sebagian besar fans mereka juga bukan orang-orang seperti fans banyak band VK lain. Seperti yang dikeluhkan salah seorang fans VK generasi lama yang kemudian memutuskan mengikuti band ini, “Waktu dulu gue ngikutin band ABC, nggak pernah ada yang berani sama gue! Biarpun gue datang dengan nomor tiket ratusan, nggak ada yang berani ambil tempat gue di saizen. Dan fans band ABC selalu berusaha dapat nomor tiket sebagus mungkin, jadi tiket sisa yang gue jual pasti laku. Sama band ini susah banget! Fansnya suka ga peduli, kalau udah dapat tiket, ya nomor berapa aja terserah!” Untuk dia yang biasanya membeli banyak tiket demi memperbesar kemungkinan dapat tiket nomor bagus, tentu itu masalah besar.

Kuga adalah salah satu orang paling mengagumkan yang gue pernah kenal dalam hidup gue. Daya kreatifnya besar, meledak-ledak. Dia bukan growler – nggak ada lagu LIPHLICH yang pakai growling seperti kebanyakan band VK lain – dia penyanyi, dan kalau menyanyikan lagu-lagu orang lain pun kadang-kadang dia bikin penyanyi aslinya minder. Berapa kali gue lihat dia tukeran nyanyi lagu sama band lain, dia enak aja menjadikan lagu band lain itu lagu dia sendiri dengan suaranya, sementara penyanyi band lain keteteran mencoba menyanyikan lagu dia.

Gue nggak bisa main musik. Tapi seandainya gue bisa, gue sering merasa bahwa gue ingin sekali – gue akan membuat musik seperti yang Kuga buat. Kuga seperti sisi artistik yang gue ingin tapi ga pernah punya.

Dan, nggak tau, rasanya kami nyambung aja. Kadang-kadang dia nanya sesuatu yang orang lain nggak ada yang tahu tapi gue tahu, misalnya waktu dia nanya “Apa kalian tahu soal zoot suit?” Kasihan sih dia, kadang-kadang ngomongin sesuatu, membandingkan dengan seniman Eropa misalnya, dan nggak ada yang tahu kecuali gue atau sahabat gue.

Mungkin itu yang bikin dia ‘suka’ sama gue. Mungkin dia suka surat-surat dan kartu-kartu yang gue buat dan kasih ke dia. Mungkin dia seneng karena ada yang nanya itu judul lagu dia sebenarnya humanity dalam bahasa Inggris atau humanité dalam bahasa Prancis. Atau mungkin jangan-jangan karena dia menganggap gue lucu karena bahasa Jepang gue yang jelek. Apa pun itu, dia lama-kelamaan nggak canggung sekadar basa-basi lagi sama gue. Bahkan lama-lama dia buang sebutan ‘san’ saat manggil gue, meski gue tetap ga tega nanggalin ‘san’ dari nama dia. Nama keluarga pula. Entah bagaimana hanya dia yang dipanggil pakai nama keluarga, dan selalu dengan embel-embel ‘san’. Dulu malah ada yang manggil pakai ‘sama’. Untung praktik konyol ini tidak diteruskan.

Alhasil gue buat dia hanya ‘Tyas’ saja. Kadang-kadang gue masih jauh dia udah manggil kenceng, “Tyas!” Yang ada gue (dalam hati) “Eee eee gila looo kalo kedengeran fans lain gue matek!” Seperti sempat dijelaskan di atas, rasa bahwa ada anak band yang ‘pilih kasih’ itu bisa bikin fans lain cemburu berat. Tapi ya dia gitu. Kalo liat gue suka cekikikan, senyum lebar, kalo megang tangan gue sampai diayun-ayun. Iya, yang namanya ‘artis’ di muka ‘fans’ pastinya harus baik, harus ramah. Tapi rasanya… ya dia rasanya lain aja ke gue. Nggak tahu deh. Ya pokoknya sampe sahabat gue ngasih penilaian seperti itu juga. Aduh, gue paham banget sih kalau ada yang ngerasa gue cuma kegeeran. Asli. Ini memang bukan hal yang rasanya nyata.

Gue nggak berani berspekulasi lebih lanjut kenapa gue sampai dikasih tiket nomor satu untuk live itu. Dia memang tahu gue bakal pulang di pengujung bulan Maret. Dia memang selama ini, sepertinya, terang-terangan menunjukkan bahwa dia ‘suka’ pada gue. Tapi bisa aja tiket nomor satu itu memang cuma kebetulan. Dan kebetulannya dua kali lipat karena para fans ngotot nggak dapat tiket bahkan yang hanya mendekati bagus, sampai-sampai mereka memutuskan tidak datang…

Di hari H, 25 Januari 2015, gue pun mengantri di ujung paling depan antrian penonton yang bersiap-siap menunggu Ruido K4 (tempat live dilangsungkan) dibuka. Gue gemeteran, tapi bukan karena dingin. Saat itu gue sudah sampai pada titik beranggapan 12 derajat itu hangat dan gue malah buka jas. Gue gemeteran karena masih ketakutan bakal tahu-tahu ada yang menyapa dari belakang dan berkata dengan suara manis tapi mengancam, “Mau tukeran tiket nggak….” Akhirnya gue hanya berani menghadap ke depan. Begitu akhirnya pintu dinyatakan dibuka dan gue dipersilakan masuk, nggak terkira leganya hati gue. Gue langsung menuju saizen, ambil tempat paling tengah (biasanya ditandai dengan jaket atau muffler towel yang kita sampirkan di palang), dan menjejalkan tas gue ke ruang sempit di antara panggung dan palang depan. (Ini salah satu keistimewaan pengisi saizen. Nggak perlu naruh barang di locker, taruh saja di bawah bibir panggung.)

Seluruh pengisi saizen nggak ada yang tergolong ‘fans ngotot’. Di sebelah kanan gue fans Maru-chan, yang sempat menitipkan tempatnya ke gue karena dia mau ke buppan (meja penjualan merchandise) sebentar untuk beli cheki spesial Maru-chan dan Kazami (basis yazzmad saat itu). Setelah balik, ia lalu menawarkan untuk gantian sehingga gue juga bisa ke buppan. Ini juga salah satu bentuk sopan-santun di dunia VK.

Karena live kali ini two-man, tidak ada shikiri. Hanya dilakukan negosiasi pribadi kalau ada yang ingin tukeran posisi di saizen dengan yang menempatinya terlebih dahulu. Band yang akan tampil pertama adalah yazzmad. Fans Maru-chan di sebelah gue bersepakat tukeran untuk sementara dengan seorang fans yazzmad. Gue terheran-heran karena nggak ada seorang pun fans yazzmad yang mendekati gue, yang notabene adalah dosen (paling tengah), untuk meminta tukeran sementara. Ya gue juga suka yazzmad, tapi gue ngerasa ga sepantesnya aja gue jadi dosen untuk dua band berturut-turut. Akhirnya gue tanya ke fans di sebelah kanan gue yang tadi tukeran sama fansnya Maru-chan. Gue tanya personil yazzmad mana yang dia paling suka. Katanya Naoki, penyanyinya. Pas lah. Gue pun tawarin dia untuk tukeran dengan gue, jadi dia yang di dosen selama yazzmad sementara gue menempati posisi kami-ichi (sebelah kanan nomor satu di samping dosen).

Gue nggak terlalu hapal furitsuke yazzmad, tapi nggak susah sih. Kalau udah cukup banyak nonton live VK pasti bisalah kira-kira memperkirakan gerakan untuk irama atau pola musik tertentu, dan selalu ada orang di kanan-kiri yang bisa gue tiru. O iya… itu juga sih yang bikin gue merasa ga pantas jadi dosen yazzmad, karena gue ga hapal semua gerakan furitsuke padahal fans yang berdiri di sebelah belakang pasti akan ngelihat gue duluan untuk meniru gerakan kalau mereka sendiri nggak hapal. Di kami-ichi gue lebih aman lah. Yazzmad juga bagus sekali, dan mereka ngecover satu lagu LIPHLICH, tapi apa gue nggak inget.

Usai yazzmad, posisi dosen dikembalikan ke gue. Fans Maru-chan yang tadi juga balik ke kami-ichi. Dan akhirnya, hal yang sebelumnya gue impikan pun ga berani, terjadi juga. Untuk sekali-kalinya, gue menjadi saizen LIPHLICH, dan sekali-kalinya itu gue sebagai dosen. Gue benar-benar menikmati bisa melihat Kuga menyanyi dari dekat, meski gue menyadari bahwa posisi ini menjadikan bintik buta gue lebih luas dari biasa. Sulit melihat para personil lain dari posisi itu, dan dalam hati kecil gue, sebagai orang yang suka band ini secara keseluruhan, gue lebih menikmati posisi di mana gue juga lebih leluasa melihat para personil lain.

Meski demikian gue bangga, bangga sekali. Kayak gue bisa menunjukkan, hei, lihat, gue nggak malu-maluin kan. Gue ngikutin lo udah setahun lebih. Gue bisa furitsuke lagu-lagu lo karena gue inget lagu-lagu lo. Gue cinta banget sama musik lo. Gue sayang elo.

Saking sayangnya sampe boots lo sedeket ini gue rela…….. Eh agak takut juga sih ketendang. Apalagi gerakan dia suka liar. Belum lagi kabel micnya yang nyambar ke mana-mana ngikutin gerakannya. Gue dan cewe sebelah gue beberapa kali harus menghindar dari kabel micnya dan mendorong kabel itu balik ke panggung. Dan gue juga kehujanan sesuatu. Entah cipratan liur atau keringat dia yang udah bersimbah ke mana-mana. Yah anggap saja tanda cinta.

Tapi yang paling membahayakan malam itu bukan itu.

Nah, gue kan dosen, tapi posisi gue agak kegeser-geser sehingga ga pas di tengah, ga pas depan tiang mikrofon dia. Lagi seru-serunya live berlangsung, dia bergerak kasar, dan tiang micnya kedorong, jatuh dengan cepat dan tajam – asli, kenceng banget ngebelah udara – di antara gue dan fans di samping gue. Kami berdua sampai terdiam kaget dan ngelirik tiang yang sekarang terbaring di antara kami itu. Kalau salah seorang dari kami berdiri lebih ke tengah aja, bisa-bisa kami yang kesamber tiang itu tadi. Biar yang ngejatuhin Kuga tetep aja mana enak kejatuhan tiang sekenceng itu. Kuga nggak bisa ngapa-ngapain karena dia masih terus nyanyi, tapi begitu masuk solo gitar, dia jongkok dan narik tiang itu sampai berdiri. Gue lihat dia ketawa sambil bilang, “Maaf!”

Hahaha, yah, kenang-kenangan juga lah itu…

Astaga, tulisan ini udah sepanjang ini. Ada nggak ya yang baca sampai ke bawah sini? Kalau iya, terima kasih. Gue nulis ini supaya nggak lupa aja, makasih kalau sudah dibaca.

Pokoknya malam itu, gue sangat-sangat puas dan bahagia. Gue amat berterima kasih mereka mengirimi gue tiket nomor satu sehingga bisa mendapatkan pengalaman macam itu, meski gue ga pernah mengharapkan, ga pernah minta, ga pernah ngejar. Gue anggap aja ada seseorang yang malam itu ingin gue yang mengisi posisi dosen dan itu kehormatan besar sekali buat gue, sesuatu yang mungkin nggak bakal pernah terulang. Tiket nomor satu – untuk band nomor satu buat gue.

tumblr_nlo9vy5M8D1r14rbzo1_500

Gue sayang, sayang banget sama kalian berempat. Terutama elo, yang tangan kanannya gue pegang.

2 thoughts on “Ketika Gue Mendapat Tiket Nomor Satu

  1. Wow, postingannya keren! Baru tau segala tetek bengek di dunia VK. Terusin dong kak, kayaknya bisa dibaca sambil makan popcorn 🙂

    -KaptenTsubasa-

Leave a reply to lompatlompat Cancel reply